Sabtu, 18 Juni 2016

PERBANDINGAN SISTEM PEMILU DI INDONESIA DENGAN KANADA

ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan sistem pemilu Indonesia dengan Kanada. Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkinkan warga negara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Sistem pemilu  Pemilihan umum adalah sebuah konsekuensi dari pemerintahan yang menganut sistem demokrasi. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia adalah sistem pemilihan Proporsional sedangkan sistem pemilihan umum yang di anut di Kanada menganut sistem distrik. Pemilihan umum melibatkan seluruh lapisan masyarakat suatu negara yang memiliki hak yang sama, yaitu setiap masyarakat yang telah memenuhi persyaratan dalam pemilu berhak untuk memilih dan dipilih dan hasilnya berdasarkan perolehan suara tertinggi, pemilihan umum dilakukan sebagai upaya untuk mencapai sebuah suara politik warga negara yang diharapkan nantinya menghasilkan berbagai kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Kata Kunci: Sistem Pemilu ,  Indonesia, Kanada

PENDAHULUAN
Setiap negara memiliki sistem pemilihan umum yang berbeda. Perbedaan itu diakibatkan oleh berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain sebagainya. Sebab itu, pilihan atas sebuah sistem pemilihan umum menjadi perdebatan sengit di kalangan partai politik. Namun, apapun dasar pertimbangannya, sistem pemilihan umum yang ditetapkan harus memperhatikan serangkaian kondisi. Kondisi ini yang membimbing pemerintah dan partai politik guna menetapkan sistem pemilihan umum yang akan dipakai. Donald L. Horowitz menyatakan pemilihan sistem pemilihan umum harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
1.       Perbandingan Kursi dengan Jumlah Suara
2.        Akuntabilitasnya bagi Konstituen (Pemilih)
3.       Memungkinkan pemerintah dapat bertahan
4.       Menghasilkan pemenang mayoritas
5.      Membuat koalisi antaretnis dan antaragama
6.      Minoritas dapat duduk di jabatan public
Pertimbangan yang diberikan Horowitz menekankan pada aspek hasil dari suatu pemilihan umum. Hal yang menarik adalah, sistem pemilu yang baik mampu membuat koalisi antaretnis dan antaragama serta minoritas dapat duduk di jabatan publik. Ini sangat penting di negara-negara multi etnis dan multi agama. Terkadang, minoritas agak terabaikan dan konflik antaretnis/antaragama muncul. Dengan sistem pemilu yang baik, kondisi ini dapat diredam menjadi kesepakatan antarpimpinan politik di tingkat parlemen. Konflik, sebab itu, dibatasi hanya di tingkat parlemen agar tidak menyebar di tingkat horizontal (masyarakat).


LANDASAN TEORI
Pengertian  Sistem Pemilu
      Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam dua pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Dalam arti sempit sistem pemilihan umum adalah cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik.
      Menurut Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology sistem pemilihan umum adalah menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.

Sistem Pemilu Proporsional
 Sistem pemilu proporsional merupakan system pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi disuatu daerah pemilihan. Dengan system ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi lebih banyak disuatu daerah pemilihan, begitupun sebaliknya. Sistem ini juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh suatu parta politik tersebut. Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif.

Sistem Pemilu Distrik
               Dalam sistem ini jumlah penduduk di suatu wilayah akan sangat berpengaruh terhadap wakilnya. Karena di sistem Distrik, daerah pemilihannya berbasis pada jumlah penduduk. Lalu dalam sistem ini pula daerah pemilihannya cenderung kecil karena hanya berupa distrik. Sehingga, jumlah daerah pemilihan akan sangat banyak, terutama jika diterapkan di negara yang wilayahnya sangat luas. Lalu, seorang caleg yang akan mewakili daerahnya haruslah berasal dan berdomisili di daerah pemilihan tersebut. Jika ada caleg yang berasal dari luar daerah akan cukup sulit untuk mendapatkan suara, karena masyarakat kurang mengenalnya. Jadi, seorang caleg haruslah memiliki kualitas dan tingkat kepopuleran yang cukup tinggi. Dalam sistem ini cenderung mengarah pada sistem disentralisasi karena wakilnya sangat loyal kepada partai maupun pemilihnya.




PEMBAHASAN

Sistem Pemilihan Umum Indonesia
            Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional,  adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik. Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional daftar terbuka.
            Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat  perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten /kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara  dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya. hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi  jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
            Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny merupakan hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon  yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata BPP  nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP  nasional.
           
Sistem Pemilihan Umum Kanada
            Pemilihan umum di Kanada menganut sistem distrik dimana sistem ini didasarkan pada kesatuan geografis. Tiap-tiap kesatuan memiliki satu wakil di House of Commons (DPR). Jika calon yang berada dalam distrik memperoleh suara terbanyak menang maka suara-suara lain yang ditujukan terhadap calon-calon lainnya dalam distrik tersebut dinggap hilang dan tidak dihitung. Sebagai negara commonwealth, Kanada juga menggunakan metode sistem monarki untuk memilih kepala negaranya. Dalam hal ini, ditunjuk seorang Gubernur Jenderal sebagai kepala negara yang merupakan wakil ratu Inggris di Kanada. Gubernur Jenderal dipilih atas nasihat perdana menteri secara monarki. Sedangkan perdana menteri diangkat oleh Gubernur Jenderal dan biasanya memimpin partai politik yang memegang kursi terbanyak dalam majelis perwakilan rendah.
            Pemilihan umum di Kanada hanya memilih anggota parlemen. Partai politik yang memiliki kursi terbanyak atau mendapat dukungan terbanyak di The House of Commons dapat membentuk pemerintahan, dan pemimpin partainya dapat menjadi seorang Perdana Menteri. Dalam sistem pemilu parlemen seperti ini, terbentuknya pemerintahan Kanada sangat begantung terhadap apa yang terjadi di House of Commons. Ketika salah satu partai politik mendapat mayoritas suara dan mayoritas kursi di House of Commons maka partai tersebut menguasai pemerintahan secara penuh. Namun, sejak tahun 1921 pemerintahan di Kanada selalu bersifat mayoritas semu atau minorita dan tidak pernah berbentuk koalisi. Pemerintahan mayoritas semu adalah pemerintahan yang yang dibentuk oleh partai politik yang memperoleh suara mayoritas di House of Commons namun tidak mendapat suara mayoritas di masyarakat. Pemerintah minoritas dibentuk oleh partai politik yang walaupun tidak  memiliki jumlah kursi mayoritas tetapi memperoleh dukungan dari House of Commons lebih banyak dari partai-partai lain.
            Mengenai pemerintah minoritas, Gubernur Jenderal memilih pemimpin partai terbesar untuk memimpin pemerintahan sebagai Perdana Menteri. Namun, untuk mempertahankan pemerintah minoritas yang stabil Perdana Menteri dan partai politiknya memerlukan dukungan dari partai politik lain di House of Commons. Hung Parliament atau parlemen yang tidak memiliki partai politik dengan kursi mayoritas pun semakin sering terjadi akibat perubahan dari sistem dua partai menjadi sistem multipartai dimana tidak ada satu pun partai politik yang dapat menguasai kursi mayoritas di House of Commons. Hadirnya partai baru yakni Block Quebecois diluar partai besar yang lebih lebih dulu ada yakni Partai Konservatif dan Partai Liberal merubah tatanan politik di Kanada yang kemudian membuat kedua partai politik tersebut sulit untuk memperoleh suara mayoritas di House of Commons sehingga sejak tahun 1921, 24 dari 26 kali pemilihan umum selalu menghasilkan pemerintah minoritas atau mayoritas semu.
            Semua warga negara Kanada memiliki hak yang sama untuk memilih wakil-wakil parlemen mereka. Undang-undang pemilihan Kanada memberi tanggung jawab kepada ketua penyelenggara pemilihan umum untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang sistem pemilihan umum dan hak-hak yang dimiliki individu dalam pemilihan umum dan juga untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi mengenai pemilihan umum. Informasi ini dapat tersebar melalu media massa, baik cetak maupun media elektronik. Selama pemilihan umum, panitia pemilihan umum memberi informasi kepada masyarakat tentang tata cara pemilihan umum, bagaimana terdaftar dalam daftar pemilih dan dimana mereka melakukan pemilihan umum.
            Salah satu tugas panitia pemilihan umum di Kanada adalah mengatasi hambatan-hambatan dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama terhadap sejumlah masyarakat yang tidak dapat melakukan pemilihan umum. Para pemilih yang sedang berpergian di luar Kanada tetap bisa melakukan pemilihan melalui surat suara khusus yang tersedia. Selain itu bagi pemilih yang tidak ingin melalukan pemilihan dengan pergi ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) juga dapat melakukan pemilihan umum dengan menggunakan surat suara khusus. Para penyandang cacat dapat melakukan pemilihan umum di rumah di hadapan petugas pemilihan. Juga tersedia layanan pemilihan umum melalui telepon untuk pemilih yang tinggal di lembaga-lembaga tertentu seperti panti jompo untuk orang lanjut usia dan rumah penyandang cacat. Jika memungkinkan petugas pemilu di TPS berbicara dalam dua bahasa yakni Inggris dan Perancis. Selain itu petugas pemilu dapat menunjuk seorang wakil sebagai juru bahasa untuk dapat berkomunikasi dengan pemilih.
            Semua surat suara yang telah diisi dimasukan ke dalam sebuah kotak suara yang disediakan oleh panitia pemilu. Surat suara dan kotak suara dirancang sedemikian rupa untuk memastikan bahwa tidak seorang pun tahu kecuali pemilih sendiri tentang pilihan yang dibuat masing-masing pemilih. Penghitungan suara dilakukan secara manual di hadapan wakil setiap calon. Di dalam sistem penghitungan suara ini tidak ada mekanisme penggunaan alat eletronik yang terlibat.
            Pemilihan umum di Kanada di selengarakan setiap lima tahun sekali namun bisa dilaksanakan bila ada hal-hal yang menuntut dilakukannya pemiliham umum, dan selain itu juga kebanyakan anggota parlemen sebelum masa lima tahun berakhir. Ketika sebuah pemerintah kalah dukungan mayoritasnya pada sebuah pemilihan umum, pergantian pemerintahan terjadi.

Perbandingan Sistem Pemilu  Indonesia dan Kanada
            Perbandingan sistem pemerintahan Indonesia dengan Canada menyangkut beberapa segi antara lain pada tabel di bawah ini :
Indonesia
Kanada
• Dianggap lebih mewakili suara rakyat karena perolehan suara partai sama dengan persentase kursinya di parlemen.
• Setiap suara dihitung dan tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil dan minoritas bisa mendapat kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat mewakili masyarakat heterogen dan pluralis.
Kekurangan-kekurangan sistem proporsional diantaranya:
• Berbeda dengan sistem distrik, sistem proporsional kurang mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai yang terus bertambah menghambat integrasi partai.
• Wakil rakyat kurang akrab dengan pemilihnya, tapi lebih akrab dengan partainya. Hal ini memberikan kedudukan kuat pada pimpinan partai untuk memilih wakilnya di parlemen.
• Banyaknya partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas. Hal ini menyebabkan sulitnya mencapai stabilitas politik dalam parlemen, karena partai harus menyandarkan diri pada koalisi.
• Sistem ini mendorong terjadinya integrasi antar partai, karena kursi kekuasaan yang diperebutkan hanya satu.
• Perpecahan partai dan pembentukan partai baru dapat dihambat, bahkan dapat mendorong penyederhanaan partai secara alami.
• Distrik merupakan daerah kecil, karena itu wakil terpilih dapat dikenali dengan baik oleh komunitasnya, dan hubungan dengan pemilihnya menjadi lebih akrab.
• Bagi partai besar, lebih mudah untuk mendapatkan kedudukan mayoritas di parlemen.
• Jumlah partai yang terbatas membuat stabilitas politik mudah diciptakan
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, sistem ini juga memiliki kelemahan, diantaranya:
• Ada kesenjangan persentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi di partai, hal ini menyebabkan partai besar lebih berkuasa.
• Partai kecil dan minoritas merugi karena sistem ini membuat banyak suara terbuang.
• Sistem ini kurang mewakili kepentingan masyarakat heterogen dan pluralis.
• Wakil rakyat terpilih cenderung memerhatikan kepentingan daerahnya daripada kepentingan nasional.




PENUTUP
Kesimpulan
            Setiap negara memiliki sistem pemilihan umum yang berbeda. Perbedaan itu diakibatkan oleh berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain sebagainya. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional,adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar.
            Sistem pemilihan umum di Kanada menganut sistem distrik dimana sistem ini didasarkan pada kesatuan geografis. Tiap-tiap kesatuan memiliki satu wakil di House of Commons (DPR). Jika calon yang berada dalam distrik memperoleh suara terbanyak menang maka suara-suara lain yang ditujukan terhadap calon-calon lainnya dalam distrik tersebut dinggap hilang dan tidak dihitung. Sebagai negara commonwealth, Kanada juga menggunakan metode sistem monarki untuk memilih kepala negaranya. Dalam hal ini, ditunjuk seorang Gubernur Jenderal sebagai kepala negara yang merupakan wakil ratu Inggris di Kanada. Gubernur Jenderal dipilih atas nasihat perdana menteri secara monarki. Sedangkan perdana menteri diangkat oleh Gubernur Jenderal dan biasanya memimpin partai politik yang memegang kursi terbanyak dalam majelis perwakilan rendah.





DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Kencana .
Donita, “sistem pemilu di Indonesia”. http://donitadn083.blogspot.com/. Diunduh 14 Juni 2016
Izzuddin Yusuf, “Sistem Pemilu”.  http://izudinjosep.blogspot.com/2012/06/ sistem-pemilu.html#!/2012/06/sistem-pemilu.html. Diunduh 14 Juni 2016
Okta Abid, “Membincang electoral threshold”. http://infotakalar.irsyadi.com/ opinidtl.php?recordID=57. Diunduh 14 Juni 2016
Suci Rahayu Ningsih, “Sistem Pemilihan Umum di Indonesia”.  http://suci.blog. fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/. Diunduh 14 Juni 2016
Tia Satriana, “Sistem Pemilu yang Berlaku di Indonesia”. https://tahusakti. wordpress.com/2013/04/12/sistem-pemilu-yang-berlaku-di-indonesia/. Diunduh 14 Juni 2016
zakya scitter, “Makalah Sistem Pemilihan Umum di Dunia”. http://zakyascitter1. blogspot.com/2013/03/makalah-sistem-pemilihan-umum-di-dunia2163.html.Diunduh 14 Juni 2016

Jumat, 17 Juni 2016

ANALISIS GAYA KOMUNIKASI PRESIDEN – PRESIDEN DI INDONESIA

         1.      Ir. Soekarno
Ø  Gaya Kepemimpinan
            Sebagai presiden pertama gaya kepemimpinan yang diterapkannnya menunjukkan bahwa Soekarno merupakan tipe pemimpin yang demokratis dengan  mengedepankan semangat persatuan di atas kepentingan golongan, kelompok, ras, suku,agama tertentu. Beliau mampu mendorong dan menggerakkan rakyat guna memanfaatkan potensi dan kapabilitasnya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Bung Karno, begitu menekankan pentingnya Nasionalisme (paham Kebangsaan) Indonesia.  Dalam pergerakan politiknya sejak muda hingga beliau memimpin Negara republik Indonesia, nilai-nilai Nasionalisme ini begitu dikedepankan. Beliau bersama tokoh pergerakan lain menyadari bahwa perjuangan meraih kemerdekaan. Kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang tidak banyak berkeluh kesah, melainkan kepemimpinan yang memiliki daya juang dan motivasi tinggi. Sehingga kepemimpinanya mampu memotivasi dan menginspirasi bangsanya. etelah beliau menjadi Presiden Republik Indonesia, Nilai-nilai Nasionalisme tetap menjadi roh utama tujuan pemerintahannya. Salah satu faktor pentingnya yaitu dengan mengangkat harga diri bangsa di dunia Internasional. Beliau sangat sensitif dan reaktif jika Bangsa Indonesia diremehkan. Beliau membangun angkatan bersenjata yang kuat. Mempelopori banyak hal terkait isu “membangun dunia baru yang lebih adil dan merata”.

Ø  Gaya Komunikasi
      Gaya komunikasi Ir.Soekarno tegolong Low Context di karenakan iya kerap          berbicara dengan jelas , tegas, dan tanpa basa – basi  sehingga orang yang mendengarkannya dapat memahami makna setiap kata atau kalimat yang diutarakan soekarno. Ketegasan soekarno saat berpidato disampaikan dengan suara yang keras , ia sangat peercaya diri ketika sedang berpidato. Salah satu ciri soekarno ketika berpidato ialah tubuhnya tidak bisa diam ia selalu menujuk – nunjuk jari telunjuknya ke satu arah atau bertolak pinggang. Soekarno juga sering menggulang – ulang kata atau kalimat yang di anggap penting.

      2.      Muh. Soeharto

Ø  Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan soeharto termasuk gaya kepemimpina otokratis karena segala sesuatu keputusan berada di pusat , tanpa memperhatikan yang ada dibawahnya. Pada masa pemerintahan soeharto , rakyat tidak bebas dalam bersuara, kebebasan rakyat di batasi dengan banyak aturan dalam berorganisasi pun di atur oleh pemerintah secara nyata. Ciri- cirri pada masa kepemimpinan soekarno yaitu cenderung memperlakuakan bawahannya sama dengan alat lain dalam organisasi  seperti mesin dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka. Pada masa pemerintahan soeharto  Media Massa tidak memiliki kebebasan , mereka terikat oleh aturan yang ketat. Sebenarnya gaya kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpinan yang tepat pada massa awal pemerintahannya kareana pada saat itu tingkat pergolakan dan situasi yang tidak menentu juga tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah namun dirasa pada awal tahun 1980-an gaya otokratis soeharto ini kurang tepat karena keadaan di Indonesia yang telah banyak berubah. Masyarakat Indonesia  semakin cerdas dan semakin paham hakikat Negara demokratis. Dengan sendirinya gaya kepemimpinan soeharto bertolak dengan masyakarakat. Untuk tetap memperthankan kekuasaannya soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Ø  Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi Soeharto tergolong High context, : banyak kepura-puraan (impression management), tidak to the point dan sangat santun. Komunikasi Soeharto penuh simbol, tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal communication. Pemilihan kata dalam komunikasinya halus, samar-samar, suaranya tidak keras, tapi bobotnya terasa.  Sehingga orang yang mendengarkannya diharap dapat mengartikan sendiri  apa yang diucapkan.  Kalau Pak Harto tidak suka, dia tidak berkomentar. Dan ada bahasa-bahasa  isyarat yang harus kita tahu sendiri bahwa Pak Harto tidak berkenan. Dan apabila Pak Harto memerintah stafnya tidak pernah secara jelas diutarakan dan semua tergantung penafsiran sendiri yang mendengarnya.

     3.      Bj Habibie

Ø  Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan Bj Habibie termasuk gaya kepemimpinan yang demokratis karena pada masa pemerintahannya kebebesan pres dibuka selebar-lebarnya sehingga melahirkan demokratis yang lebih besar. Pada saat itu juga banyak peraturan-peraturan banyak dibuat. Dalam melaksanakan pekerjaan Bj Habibie berpengang pada prinsip “ Bersikap Rasional, bertindak kosisten, dan berlaku adil”. Bj Habibie sangat mementingkan pengawasan, termasuk pengawasan atasan langsung kepada bawahan. Bj Habibe menerapkan spesialisasi kerja karena ia beranggapan hanya dengan spesisalisasi akan di tumbuhkan kekuatan bersaing berdasarkan kemampuan. Gaya kepemimipinan demokrtis memberikan kebebasan yang besar untuk mengadakan control terhadap supervisor , pemimpin dan bawahan saling mengisi.
Ø  Gaya Komunikasi
Gaya komunikas Bj Habibie tergolong Low Context, di karenakan pada saat Bj Habibie berbicara beliau mempunyai spontanitas yang tinggi dan meluap – luap . apasaja yang beliau pikirkan cenderung mau dilaksanakan itu juga.  Ketika Habibie marah ia melototkan mata kepada yang di marahi , raut muka memerah dengan suara keras. Salah satu penyebab pola komunikasi Bj Habibie Low context  karena latar belakang pendidikannya dari Eropa.


4 .      Abdurrahman Wahid

Ø  Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan gusdur termasuk gaya kepemimpinan yang demokratis Walaupun memerintah hanya dalam waktu yang sangat singkat, Gus Dur telah melakukan perubahan besar dengan mengantarkan negeri ini menjadi salah negara kampium demokrasi dunia. Gus Dur telah berhasil menghindarkan Indonesia dari konflik berkepanjangan yang disebabkan oleh fanatisme agama, etnis, dan golongan. Sebelum menjadi presiden, Gus Dur adalah seorang yang gigih dalam memperjuangkan demokrasi dan menentang pemerintahan otoriter Orde Baru. Dialah sang pemimpin Islam progresif yang secara gigih mengkontekstualisasikan nilai-nilai demokrasi Islam di Indonesia. Ketika menjadi ketua Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur banyak membuat gebrakan dengan mengubah image NU dari organisasi tradisional menjadi organisasi modern dan progresif.

Ø  Gaya Komunikasi
Abdurrahman Wahid mempunyai gaya komunikasi Low Context karena pola komunikasinya  sangat terbuka , blak – blakn ,implusive dan spontan . omongannya sangat jelas apabila ia tidak suka ia langsung ngomomg. Misalnya, ini enggak bagus; ini lihat dulu. Gus Dur mempunyai karakter intelektual yang kuat, tetapi sangat mudah dipengaruhi oleh stafnya dan orang kepercayaannya. Sehingga informasi yang diterima-nya, tidak di olah dan di filter terlebih dahulu, lalu langsung dilemparkan ke public sehingga hal ini sering membuat cemas masyarakat dan sikap saling curiga. Celakanya, sering juga informasi yang sudah dilansir public itu ternyata salah, dan gusdur dengan santai berkilah “gitu aja kok dipikirin”. Salah satu ciri kebiasaan komunikasi gusdur sangat suka mengancam lawan politiknya atau menggretak lawan.dalam ilmu komunikasi, pola komunikasi semacam itu disebut  fear-arousing communication, komunikasi yang mengandung pesan-pesan menakuti atau mengancam khalayak

       5.      Megawati Soekarnoputri
Ø  Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan megawati soekarno termasuk gaya kepemimpinan yang demokratis karena karena dalam beberapa proses pengambilan keputusan, ia menyerahkan kepada tiap bawahannya untuk memutuskan sendiri sesuai tugas masing-masing, pada pasa pemerintahannya  di laksanakan pemilihan umum presiden secara langsung dan umum, pada masa pemerintahannya Membentuk Kabinet Gotong-Royong Kabinet Gotong-Royong (KGR) dibentuk pada tanggal 10 Agustus 2001 dan berakhir pada tahun 2004 seiring lengsernya Presiden Megawati Soekarnoputri pada waktu itu. Kabinet ini dinamakan KGR karena merupakan pemerintahan dari hasil banyak partai. Mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada tahun 2003 oleh Presiden Megawati. Pendirian KPK ini didasari karena Presiden Megawati melihat institusi Jaksa dan Polri saat itu terlalu kotor, sehingga untuk menangkap koruptor dinilai tidak mampu, namun jaksa dan polri sulit dibubarkan sehingga dibentuklah KPK.Mengadakan pemilu yang bersifat demokratis yang dilaksanakan tahun 2004 dan melalui dua periode yaitu : Periode pertama untuk memilih anggota legislatif secara langsung. Periode kedua untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan secara langsung artinya rakyat langsung memilih pilihannya

Ø  Gaya Komunikasi
Gaya berkomuniksinya termasuk high context lebih sehingga sulit dipahami, ia lebih sering membahas masalah “perempuan” dibanding masalah negara. Ia juga kurang menerima kritik mahasiswa dan mediasuka diam atau menebar senyum daripada bicara. Senyum yang hanya dia sendiri yang mengetahui apa artinya. Pidatonya tersa hambar, suaranya benar-benar datar, nyaris tidak ada bahasa tubuh selama pidato. Megawati membaca kata perkata secara kaku seolah takut kedua matanya lepas dari teks pidato didepannya. . Komunikasi politiknya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi-misi pemerintahannya.
      6.      SBY
Ø  Gaya Kepemimpinan
Menurut saya, kepemimpinan SBY juga masuk dalam tipe demokratik mungkin disebabkan karena tuntutan reformasi, situasi dan kondisi saat ini yang semakin liberal. Dimana tipe pemimpin dengan gaya ini dalam mengambil keputusan selalu mengajak beberapa perwakilan bawahan, namun keputusan tetap berada di tangannya. Selain itu pemimpin yang demokratis berusaha mendengar berbagai pendapat, menghimpun dan menganalisa pendapat-pendapat tersebut untuk kemudian mengambil keputusan yang tepat. Tidak jarang hal ini menimbulkan persepsi bahwa SBY seorang yang lambat dalam mengambil keputusan dan tidak  jarang mengurangi tingkat determinasi dalam mengambil keputusan. Pemimpin ini kadang tidak kokoh ketika melaksanakan keputusan karena ia kadang goyah memperoleh begitu banyak masukan dalam proses implementasi kebijakan. Secara teoritis pemimpin tipe ini bisa menerima kritik, kritik dibalas pula dengan kontra kritik. Bukan menjadi rahasia lagi bila seringkali kita melihat dan mendengar bagaimana SBY melakukan kontra kritik terhadap orang-orang yang mengkritiknya. SBY percaya bahwa kebenaran hanya bisa diperoleh dari wacana publik yang melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Selain itu tipe pemimpin ini dalam mengambil keputusan berorientasi pada orang, apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran dari manapun.
Ø  Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi Presiden SBY yang cenderung High context , menggunakan kata-kata bersayap, tidak to the point, tidak jelas serta tidak tegas arahnya. Pesan yang disampaikan mengambang. Seperti kasus Bibit-Candra sebaiknya tidak dilanjutkan. Tetapi keputusannya diserahkan ke pihak kepolisian dan kejaksaan. Perlu indera keenam untuk memahami pidato SBY, tidak langsung dan dengan bahasa simbol, serta tidak mengambil resiko, sulit ditafsirkan, membuat bingung masyarakat, dan cenderung terlalu hati-hati.  pada saat Bapak SBY berpidato dalam pengambilan keputusan (decision making) terhadap suatu hal cenderung lamban dan di perlambat, bukan maksud untuk mengulur-ngulur waktu dan juga bukan karena kurang cerdas.  Terkadang pemecahan masalah (problem solving) tidak mengacu pada subtansi awal, sehingga cenderung kemana-mana dan agak sedikit lamban jika membuat keputusan dalam suatu negosiasi. Gaya komunikasi seperti ini lah yang membuat banyak rakyat yang merasa kesal terhadap SBY sehingga banyaknya hujatan hujatan dari rakyat.



     7.      Joko widodo
Ø  Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan jokowi yaitu gaya kepemimpinan yang demokratis sebab keputusan diambil dari masukan-masukan pihak-pihak terkait dan keputusan diambil sesudah melalui pembicaraan bersama. Jokowi juga selalu mendelegasikan kewenangannya, dengan pendelegasian wewenang tersebut tiap-tiap divisi diberi kepercayaan penuh untuk menyelesaikan tugasnya dan secara berkala jokowi akan memantau/mengontrol pekerjaan yang telah diberikan pada masing-masing divisi.
Ø  Gaya Komunikasi
                        Jokowi adalah komunikator tipe high context, yaitu komunikasi yang menggunakan "bahasa bersayap", bahasa verbal yang tidak to the point, bersifat simbolis, dan bahasa yang hanya bisa ditangkap artinya bila pendengar memahami latar belakang komunikator. Contohnya adalah dalam mengungkap ambisi besarnya untuk menjadi presiden, Jokowi sering menggunakan bahasa bersayap bahwa dia "kecelakaan" saja menjadi walikota, gubernur dan sekarang jadi capres sekalipun atas "mandat" Megawati.


TUGAS FINAL KOMPUTASI PEMERINTAHAN

DOWNLOAD disini

RESUME BUKU “TEORI DAN PROSES KEBIJAKAN PUBLIK” BUDI WINARNO


          1.     IDENTITAS  BUKU
Judul Buku     : Kebijakan Publik,teori dan proses
Penulis            : Budi Winarno
Penerbit          : Media Presindo Yogyakarta
Tahun             : 2002 ,  ISBN 9799222621
Ketebalan       :  284 halaman + cover

      2.      TUJUAN PENGARANG BUKU
            Buku ini bertujuan untuk membantu mereka yang berminat mempelajari dan ingin memahami kebijakan public. Beberapa konsep, teori dan model dalam kebijakan public diperkenalkan untuk membantu dalam mendeskripsikan, menjelaskan, dan menganalisis proses pembuatan dan penetapan kebijakan public, hingga taraf terminasi kebijakan public. Buku ini menjadi penting dalam konteks bagaimana seharusnya kita memahami proses kebijakan public sebgai sesuatu yang berpengaruh secara nyata dalam kehidupan kita.
            Buku Kebijakan Publik Karangan Budi Winarno terdiri dari bab per bab yang dibahas secara terperinci dalam buku ini begitu bisa dijadikan sumber referensi dalam tugas peresesnsian buku ini. Selain itu bahasa dan juga kalimat yang lugas dalam buku ini menurut saya mempermudah saya dalam menentukan bahasan apa yang seharusnya kita ketahui di dalam buku yang setebal kurang lebih 200-an halaman di dalam buku ini. Buku ini sangat menarik untuk dikaji oleh setiap mahasiswa ilmu sosial, pembahasan demi pembahasan yang terstruktur dalam buku ini tentunya menunjukkan cara berpikir ilmiah dan sistematis sehingga diharapkan memudahkan berbagai kalangan utuk memahami kebijakan public secara mendalam


    3.      RANGKUMAN ISI BUKU
·         Penjelasan Secara Garis Besar
     Secara garis besar,dan ditinjau dari Babnya sudah terlihat dengan jelas dan terperinci bahwa buku Budi Winarno ini mengandung beberapa hal berikut
  .      Defenisi Kebijakan Publik Dari Berbagai Tinjauan Pendekatan Dan Teori Para Ilmuwan Social
2  .      Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik,yang didalam buku ini dijabar kan secara lugas dan sekali lagi sangat tersusun dan terarah menurut saya
3.      Bahasan lengkap dalam penjelasan mengenai masalah publik,dan mana yang bukan merupakan masalah public
4.      Di dalam buku ini juga di konklusikan mengenai Perencanaan kebijakan publik,tahap pertahap didalamnya sangat dibahas dengan jelas dan ‘adil’
5.      Di bagian bab selanjutnya,buku ini mengetengahkan Perumusan kebijakan publik secara teroganisir dan tersistematis
6.      Hal yang menarik lagi kita akan mengetahui tahap implementasi kebijakan publik yang merupakan saduran langsung dari teori yang dijabarkan dalam bab bab awal
7.      Setelah tahap implementasi didalam buku ini juga dijelaskan mengenai Evaluasi ,perubahan dan terminasi kebijakan public
8.      Terakhir dalam buku ini terdapat bab terakhir yang membahas dan mengkomparasi kan contoh luar biasa Kebijakan Publik di negara Brazil dan Negara Kuba ,dua negara besar yang menerapkan kebijakan public

            Pembahasan kebijakan dalam buku ini dengan merujuk pada pendekatan proses     diatas,akan mulai dengan mendefinisikan terlebih dahulu mengenai apakah kebijakan publik tersebut. Bab Kedua,dalam buku ini akan secara khusus membahas mengenai     apakah yang dimaksud dengan kebijakan publik. Berbagai defenisi mengenai kebijakan          publik akan dipaparkan dalam bab ini.Pemaparan ini dimaksudkan untuk memberikan        pemahaman awal mengenai kebjakan publik itu sendiri ,sehingga kita dapat dengan mudh membedakan kebijakan publik dengan bentuk bentuk kebijakan yang lain. Ada banyak defenisi mengenai kebijakan publik yang dikemukkan oleh para ahli.masing asing defenisi memberi penekanan yang berbeda beda dan cenderung disesuai kan dengan latar belakang masing-masing ilmuwan. Pada akhirnya defenisi,kebjakan publik yang dikemukakan oleh james Anderson akan dijadikan rujukan atau dianggap paling pas untuk mendefinisikan kebijakan publik.Selain itu. Bab kedua dalam buku ini juga berusaha       untuk menelaah evolusi dan domain kebijakan publik.Pembahasan mengenai domain, atau area studi ,dimaksudkan untuk memberi kerangka acuan bagi para peminat kebijakan publik mengenai bidang apa saja yang dapat dikaji dalam studi kebijakan publlik. Dengan demikian,para peminat studi kebijakan publik dapat menentukan aspek aspek apa saja yang menarik untuk dikaji.seperti dapat kita lihat nanti dalam pembahasan di bab kedua buku ini ,domain kebijakan publik telah berkembang seiring dengan minat para ilmuan           terhadap kebijakan public. Pada awalanya studi kebijakan publik terbatas pada hukum dan ketertiban,namun area studi kebijakan publik telah melampaui bidang tersebut. Studi ini telah mencakup berbagai bidang seperti misalnya pendidikan kesehatan perumahan pariwisata industri erdagangan transportasi atau perhubungan.par ilmuwan yang lebih cenderung menggunakan pendekatan substansif biasanya mengkaji bentuk bentuk kebijakan seperti ini.
            Pembahasan pada bab berikutnya berkaitan dengan model dan pendekatan yang biasa digunakan dalam analisis kebijakan publik.Pada bab ini akan dipaparkan pendekatan yang biasa digunakan oleh para ahli dalam melakukan model model dan pendekatan             pendekatan analisis kebijakan.Pembahasan yang dilakukan oleh James Anderson,James P.Lester dan joseph stewar akan dijadikan acuan untuk mengupas model model dan pendekatan pendekatan dalam analisis kebijakan. Seperti dalam hal pendefinisian     kebijakan publik,dalam menetapkan model model dan penekatan dalam analisis            kebijakan,para ahli jua cenderung berbeda satu dan lainnya.
            Model yang akan dibahas       dalam bab ini meluputi model pluralis, dan model elitis.Sementara itu, beberapa             pendekatan yang akan dikupas dalam analisis kebijakan adalah pendekatan kelompok,pendekatan proses fungsional yang dikemukakan oleh Harld Lasswel,pendekatan kelembagaaan ,pendekatan peranserta warganegara dan pendekatan psikologis plus 9 pendekatan yang dikemukakan oleh Lester dan Stewart. Pembahasan model model dan pendekatan pendekatan dalam analisis kebijakan publik ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melakukan analisis kajian kebijakan publik dan untuk memberikan   “alat’ yang dapat digunakan untuk mempermudah dalam kajian terhadap kebijakan publik.
            Dalam melakukan pembahasn terhadap model model dan pendekatan pendekatan ini tidak ditujukan untuk menentukan pendekatan atau model terbaik,karena masing masing pndekatan dan model yang dikemukakan oleh para ahli memiliki  keunggulann yamasing masing.Biasanya,pendekatan atau model tersebut cocok untuk mengkaji kebijakan publik dalam suatu kasus tertentu,namun gagal dalam menjelaskan kasus yang lain.

·         Penjelasan Secara Rinci
            Dalam Buku karya Budi Winarno ini menjelaskan , minat untuk mengkaji kebijakan publik telah berlangsung sejak amat lama, bahkan sejak zaman Plato dan Aristoteles, walaupun saat itu studi mengenai kebijakan publik masih terfokus pada lembaga-lembaga negara saja. Ilmu  politik  tradisional  lebih  menekankan  pada  studi-studi kelembagaan dan pembenaran filosofis terhadap tindakan-tindakan pemerintah, namun kurang menaruh perhatian pada hubungan antara  lembaga  tersebut  dengan  kebijakan-kebijakan publik.  Baru setelah itu perhatian para ilmuwan politik mulai beranjak pada masalah-masalah proses-proses dan tingkah laku yang berkaitan dengan pemerintahan dan aktor-aktor politik. Sejak adanya perubahan orientasi ini, maka ilmu politik mulai dianggap memberi perhatian pada masalah-masalah pembuatan keputusan secara kolektif atau perumusan kebijakan. Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. kebijakan  publik  adalah  keputusan pemerintah guna memecahkan masalah publik.

Defenisi kebijakan public dalam buku budi winarno
            Budi Winarno dalam bukunya “Teori dan Proses Kebijakan Publik”, ia mempergunakan istilah kebijakan, Kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Budi winarno, 2002 :14).Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan tidak hanya digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda (Budi Winarno, 2002 : 16). Berkaitan dengan pengertian kebijakan tersebut, Carl Friedrich dalam Budi Winarno (2002 : 16) memberikan pengertiannya sebagai berikut : Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.Istilah kebijakan yang dimaksud dalam buku ini disepadankan dengan kata policy yang dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom) maupun  kebajikan  (virtues).  Budi  Winarno bahwa istilah ‘kebijakan’ ini penggunaannya sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposalan grand design. Bagi para policy makers (pembuat kebijakan) dan. Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan (policy). Setiap definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-bedapula. Seorang penulis mengatakan, bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.
            Budi Winarno (2005) mendefinisikan kebijakan publik antara lain dengan mengajukan pendapat Robert Eyeston, (1997)   the Treads of Policy: A study in leadership” Indianapolis: Bobbs-Merril hal 18, sama dengan yang dikemukakan Sholchin yakni “ hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”
            Definisi tentang kebijkan publik diberikan oleh Thomas R. Dye dalam  buku Budi   Winarno yang dinyatakan  kebijakan  publik  adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun definisi Dye ini cukup akurat, namun sebenarnya belum cukup memadai untuk mendeskripsikan kebijakan publik sebab kemungkinan masih terdapat perbedaan yang cukup besar antara apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dengan apa yang sebenarnya dilakukan. Di samping itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai baru atau pemebrian izin atau lisensi yang biasanya tindakan-tindakan tersebut tidaklah dianggap sebagai masalah-masalah kebijakan karena sebenarnya berada di luar kebijakan publik.
            Budi Winarno mengingatkan bahwa dalam mendefinisikan kebijakan haruslah melihat   apa   yang   sebenarnya  dilakukan   daripada   apa   yang diusulkan mengenai suatu persoalan. Alasannya adalah karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai. Beralasan hal tersebut, Budi Winarno menganggap definisi dari James Anderson yang mirip dengan definisi Friedrich sebagai yang lebih tepat. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision) --pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang tersedia.
            Dengan kata lain,  kebijakan  publik  adalah  keputusan pemerintah guna memecahkan masalah publik. Keputusan itu bisa berimplikasi pada tindakan maupun bukan-tindakan.Kata ‘publik’ dapat berarti masyarakat dan perusahaan, bisa juga berarti negara –sistem politik serta administrasi. Sementara ‘pemerintah’ adalah orang atau sekelompok orang yang diberi mandat oleh seluruh anggota suatu sistem politik untuk  melakukan  pengaturan terhadap  keseluruhan sistem.
Faktor lain yang menyebabkan para ahli berbeda dalam memberikan definisi kebijakan publik ini menurut Budi Winarno15  karena perbedaan pendekatan dan model apakah kebijakan  publik  dilihat  sebagai  rangkaian  keputusan  yang  dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya dapat diramalkan. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert  Eyeston  sebagaimana  yang  dikutip  oleh  Budi  Winarno16 . Eyeston  mengatakan bahwa  ‘secara  luas’  kebijakan  publik  dapat didefinisikan   sebagai’hubungan   suatu   unit   pemerintah   dengan lingkungannya”. Definisi yang  sama  juga  dikemukakan oleh  Jones. Definisi lain tentang kebijkan publik diberikan oleh Thomas R. Dye dalam  Budi   Winarno  yang   dinyatakan  kebijakan  publik  adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun definisi Dye ini cukup akurat, namun sebenarnya belum cukup memadai untuk mendeskripsikan kebijakan publik sebab kemungkinan masih terdapat perbedaan yang cukup besar antara apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dengan apa yang sebenarnya dilakukan. Di samping itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai baru atau pemebrian izin atau lisensi yang biasanya tindakan-tindakan tersebut tidaklah dianggap sebagai masalah-masalah kebijakan karena sebenarnya berada di luar kebijakan publik. W.I Jenkis yang merumuskan kebijaksanaan publik sebagai “a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation  where  these  decisions  should,  in  prinsciple,  be  within  the power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekolompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara  utnuk  mencapainya  dalam  suatu  situasi  dimana  keputusan-keputusan  itu  pada  prinsipnya  masih  berada  dalam  batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).

Model Kebijakan Publik
            Model kebijakan merupakan penyerdehanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi komplekssitas dan menjadikan dapat di kelola oleh para analisis kebijakan. Model yang akan dibahas dalam buku ini meluputi model pluralis, dan model elitis
1.      Model Elitis/ Policy as Elite Prerence
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan public di pandang sebagai nilai – nilai dan pilihan – pilihan elit yang memerintah. Model elit ini lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan public.
2.      Model Pluralis/Policy as Group Equilbrium
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antara kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan public terbentuk dari pengaruh sub sistem yang berada dalam sistem demokrasi.dalam model ini pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pda suatu waktu tertentu.

            Implementasi  Kebijakan Publik  
            Implementasi kebijakan di pandang dalam pengertian yang luas oleh karenanya Budi Winarno (2002 : 110) dalam bukunya mengutip pernyataan  Lester dan Stewart yang mengemukakan bahwa kebijakan dapat di golaongkan dalam dua karakteristik berbeda yaitu :
1.      Jumlah perubahan yang terjadi saat proses implementasi kebijakan berlangsung
2.      Sejauh mana consensus menyangkut tujuan antara pemeran dalam proses implementasi.

            Dalam buku ini pada halaman 125 pengertian implementasi dikemukakan oleh Edward     III  :  Implementasi Kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan   kebijakan dan konsekuensi – konsekensi bagi masyarakat yang di pengaruhinya.
            Kebijakan Publik dipandang sebagai variabel bebas bila fokus perhatian tertuju pada dampak kebijakan terhadap sistem politik dan lingkungan.
Alasan kedua adalah alasan profesional: studi kebijakan dimaksudkan untuk menghimpun pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari- hari. Dalam hal ini Don K. Price(1964)12  membuat perbedaan antara tingkatan ilmiah (the scientific estate) yang berusaha menetapkan pengetahuan dan tingkatan profesional (the professional estate) yang berusaha menerapkan pengetahuan ilmiah kepada penyelesaian masalah-masalah  sosial   praktis.  
            Beberapa  ilmuwan   politik   setuju bahwa seorang ilmuwan dapat membantu menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik, namun beberapa yang lain tidak sependapat .James E. Anderson termasuk yang mendukung profesionalitas (bukan hanya saintifik). Menurutnya, jika kita mengetahui sesuatu tentang fakta-fakta yang membantu dalam membentuk kebijakan publik  atau  konsekuensi-konsekuensi dari  kebijakan-kebijakan  yang mungkin timbul, jika kita  tahu bagaimana individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan mereka, maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak untuk berdiam diri. Oleh karenanya menurut Anderson adalah sesuatu yang sah bagi seorang ilmuwan politik memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkannya mampu memecahkan persoalan- persoalan dengan baik. Tentunya pengetahuan yang didasarkan pada fakta adalah prasyarat untuk menentukan dan menghadapi masalah-masalah masyarakat. Alasan ketiga adalah alasan politik: mempelajari kebijakan public pada  dasarnya  dimaksudkan  agar  pemerintah  dapat  menempuh kebijakan  yang  tepat  guna  mencapai  tujuan  yang  tepat  pula.
            Definisi kebijakan yang oleh Budi Winarno dianggap  lebih  tepat  dibanding  definisi  lainnya  adalah yang dikemukakan James Anderson yang diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah. Dalam kaitan ini, aktor-aktor bukan pemerintah (swasta) tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan publik. 

   4.      KEUNGGULAN & KELEMAHAN BUKU

·         Keunggulan Buku:
Menurut saya buku ini sangat menarik untuk dikaji oleh setiap mahasiswa ilmu sosial, Dosen yang memerlukan rujukan ilmiah hal ini tidak terlepas dari penjabaran demi penjabaran oleh ilmuan sosial yang beragam latar belakangnya,sehingga mengenai “kebijakan publik’ kita sendiri dapat melihatnya dengan “kaca mata berpikir’ dari berbagai latar belakang
Selain itu pembahasan demi pembahasan yang terstruktur dalam buku ini tentunya menunjukkan cara berpikir ilmiah dan sistematis ,sehingga diharapkan memudahkan berbagai kalangan manapun yang ingin mengkaji “Kebijakan Publik” dengan beragam pisau analisa sebagai teknik mutahkir dalam tujuan memulihkan dan membangun negaranya.
·         Kelemahan buku
Sulit bagi saya untuk mencari kelemahan dari buku ini,karena menurut pendapat saya buku ini telah sukses mengantarkan seseorang untuk bisa memahami apa itu kebijakan publik,dari segi teori ,proses.Namun hal yang seharusnya ada dalam buku ini adalah Sejarah perkembangan kebijakan publik dan juga implementasi untuk negara Indonesia di buku ini menjadi alasan yang termarjinal kan yang menjadikan kekurangan di buku ini.

   5 .      KESIMPULAN & SARAN
Kesimpulannya bagaimana pun saya beranggapan bahwa buku ini sudah bisa dijadikan bahan reujukan utama mengenai topik Kebijakan Publik,terdapat hal hal yang perlu diperhatikan juga seperti implementasi “kebijakan publik’ di negara Indonesia dan negara berkembang lainnya sama sekali tidak saya temui secara pasti dan rinci di dalam bahasan buku ini ,sehingga kita sangat sulit menemukan bagaimana implementasi kebijakan publik di Indonesia dan masa tahun 2000-an